subhannaallah wabihamdih
subhannaallah wabihamdih
subhannaallah wabihamdih
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

subhannaallah wabihamdih

membahas tentang agama islam.sunah rosulullah s.a.w, hidup & kehidupan
 
IndeksportalPencarianLatest imagesPendaftaranLogin
Pencarian
 
 

Display results as :
 
Rechercher Advanced Search
bismillahirohmanirohim
--


border="0"


border="0"


border="0"

like/ twitter/+1
Login
Username:
Password:
Login otomatis: 
:: Lupa password?
Latest topics
» الشيخ محمد العريفي - ضع بصمتك في الخمور 1 - 7
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Icon_minitimeMon Dec 12, 2011 12:55 pm by indofal

» ceramah syeh afeefuddin
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Icon_minitimeThu Dec 08, 2011 11:57 am by indofal

» wafat gusdur mantan presiden RI
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Icon_minitimeMon Dec 05, 2011 11:00 am by indofal

» kumpulan bayi-bayi lucu
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Icon_minitimeMon Dec 05, 2011 10:53 am by indofal

» Islam sebagai Landasan Politik Melayu
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Icon_minitimeWed Nov 30, 2011 1:56 pm by indofal

» Lumpur Lapindo dan Dongeng Timun Emas
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Icon_minitimeWed Nov 30, 2011 1:51 pm by indofal

» Dahsyatnya Pengaruh Dongeng
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Icon_minitimeWed Nov 30, 2011 1:48 pm by indofal

» Bau Nyale, Teladan Berkorban Pemimpin
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Icon_minitimeWed Nov 30, 2011 1:45 pm by indofal

» Sumbangan Bahasa Melayu Riau Kepada Bahasa Indonesia
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Icon_minitimeWed Nov 30, 2011 1:41 pm by indofal

Top posters
indofal
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313 
barkah
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313 
Mujahid R. Faezan
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313 
lestarie
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313 
NurFirman
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313 
reva_rn
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia 313 
Gallery
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Empty

 

 Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia

Go down 
PengirimMessage
indofal
Admin
indofal


Jumlah posting : 221
field name : 0
Join date : 25.12.10
Age : 49
Lokasi : http://id.netlog.com/indofal

Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Empty
PostSubyek: Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia   Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Icon_minitimeMon Nov 28, 2011 9:16 am

Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia Penulisan-penerjemah
Oleh : Oman Fathurahman

Tradisi penerjemahan kitab, yang berisi teks-teks keagamaan Islam dari bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa lokal —seperti bahasa Jawa, Melayu, Sunda, Aceh, dan lain-lain— di wilayah Melayu-Indonesia mulai berlangsung seiring dengan munculnya kebutuhan terhadap sumber-sumber tertulis untuk menjadi pegangan dalam penyebaran, penyiaran, dan pengajaran Islam.

Mempertimbangkan banyak dijumpainya kitab-kitab terjemahan saat ini —seperti tampak dalam berbagai katalog naskah— maka dapat dipastikan bahwa tradisi penerjemahan kitab di dunia Melayu-Indonesia pernah berlangsung secara massif dan dalam rentang waktu yang relatif panjang.

Seiring dengan semakin kuatnya tradisi tersebut, di wilayah Melayu-Indonesia kemudian muncul berbagai corak pemikiran keislaman, baik di bidang fikih, tafsir, tasawuf, hadis, dan sebagainya, dengan karakteristik yang khas dan bersifat lokal. Hal ini merupakan salah satu indikasi yang menunjukkan betapa perkembangan Islam di wilayah ini telah memperlihatkan respon yang kreatif dan dinamis dalam meresepsi Islam.

Salah satu bentuk dinamika yang berkembang di Dunia Islam Melayu-Indonesia berkaitan dengan penerjemahan kitab ini adalah munculnya apa yang disebut sebagai “bahasa Melayu Kitab”, yakni bahasa Melayu yang digunakan untuk menerjemahkan teks-teks keagamaan, dan sangat dipengaruhi oleh unsur bahasa Arab, baik menyangkut struktur kalimat maupun perbendaharaan katanya.

Terhadap bahasa Melayu Kitab ini, sebagian sarjana memandang bahwa secara linguistik, bahasa Melayu Kitab sudah “melenceng” dari bahasa Melayu pada umumnya, terutama yang digunakan dalam karya sastra. Struktur bahasa Melayu Kitab dianggap lebih mencerminkan struktur bahasa Arabnya dibanding bahasa Melayu itu sendiri. Lebih jauh, sebagian sarjana melihat adanya pengaruh merugikan dari ‘gaya kitab‘ terhadap sastra Melayu yang menjadi kehilangan ciri-ciri ideomatik bahasa asli dan keseimbangan harmonis dari konstruksi-konstruksi sintaksisnya. Mereka yang berpandangan demikian, oleh karenanya, menganggap bahwa bahasa Melayu Kitab adalah bahasa Melayu yang buruk (atrocious Malay), dan oleh karenanya menjadi tidak penting untuk dipertimbangkan sebagai bagian dari struktur bahasa Melayu itu sendiri.

Akan tetapi, sebagian sarjana lain memandang bahwa munculnya karakteristik bahasa Melayu Kitab yang “ke-Arab-araban” ini harus dipahami dalam konteks tradisi penerjemahan teks-teks keagamaan yang memang selalu bersifat harfiyah, karena didorong oleh motivasi untuk semaksimal mungkin menjaga “keaslian” bahasa sumbernya, sehingga pada gilirannya diharapkan pula dapat tetap mempertahankan “kesucian” teksnya. Dorongan untuk menjaga otentisitas teks kitab suci —termasuk bahasanya— inilah kiranya yang mempengaruhi para penerjemah umumnya untuk tidak, atau mungkin ragu-ragu, mencari padanan beberapa istilah Arab dalam bahasa Melayu, selain beberapa istilah tertentu memang masih sulit dicari, atau malah belum pernah terpikirkan padanannya saat itu.

Hingga kini, diketahui bahwa kitab-kitab terjemahan banyak dijumpai dalam bentuk manuskrip, di samping juga dalam bentuk cetakan. Naskah-naskah terjemahan —yang ditulis oleh para ulama, dan kemudian disalin oleh para penyalin berikutnya itu— sesungguhnya merupakan buah dari sebuah proses saling-silang hubungan keilmuan Islam, baik yang terjadi antara ulama Melayu-Indonesia dengan para ulama Timur Tengah, maupun antarulama Melayu-Indonesia itu sendiri dengan murid-muridnya di seluruh kawasan dunia Melayu.

Tulisan ini akan mengemukakan pembahasan tentang tradisi dan aktifitas penerjemahan kitab-kitab di Dunia Melayu-Indonesia, dengan mengambil contoh kasus penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu yang dilakukan oleh para ulama Palembang. Tokoh ulama penerjemah Palembang yang akan menjadi fokus pembahasan dibatasi pada tiga ulama paling produktif di antaranya, yaitu Shihabuddin bin Abdullah Muhammad, Kemas Fakhruddin, dan Shaikh Abdussamad al-Palimbani. Kendati biografi dua ulama yang disebut pertama tidak terlalu jelas, tetapi dapat dipastikan bahwa ada sejumlah karya yang sering dinisbatkan dengan nama mereka.

Dalam pembahasannya, artikel ini akan mengemukakan kandungan kitab-kitab yang diterjemahkan oleh para ulama Palembang tersebut, serta mencoba memberikan beberapa catatan terhadap model dan gaya terjemahannya. Selain itu, diupayakan juga untuk dapat mengemukakan proses terjadinya sebuah terjemahan, disertai dengan telaah atas berbagai hal yang melatarbelakangi munculnya aktifitas penerjemahan itu.

Palembang Sebagai Pusat Keilmuan Islam

Dalam konteks keilmuan Islam di dunia Melayu, Palembang pernah menjadi salah satu pusat tumbuh suburnya berbagai pengetahuan, baik yang berkaitan dengan sastra maupun agama. Di antara bukti yang mengindikasikan hal tersebut adalah dijumpainya berbagai naskah keagamaan, yang asal-usulnya merujuk ke wilayah ini, baik karena penulis atau penerjemahnya berasal dari Palembang, maupun karena semata-mata ditulis atau diterjemahkan di Palembang. Umumnya, berbagai karangan dan terjemahan yang dijumpai tersebut berasal dari periode pertengahan abad 18 hingga awal abad 19.

Dapat dipastikan bahwa bangkitnya Palembang sebagai salah satu “kubu Islam” di dunia Melayu ini tidak bisa lepas dari munculnya Kesultanan Palembang pada awal abad 17, di mana sejak awal para Sultannya telah mulai menunjukkan minat yang khusus pada bidang keagamaan, dan senantiasa mendorong tumbuhnya pengetahuan dan iklim keilmuan di bawah patronase mereka. Munculnya apa yang saya sebut sebagai “minat khusus” para Sultan itu sendiri, tampaknya juga terkait dengan kenyataan bahwa sejak awal berdirinya, Palembang sudah banyak berinteraksi dengan para ulama Arab yang, menjelang pertengahan abad 17, beberapa di antaranya berhasil mencapai kedudukan menonjol di istana Kesultanan Palembang (lihat Azra 1994: 244).

Dalam konteks tradisi kekuasaan Islam Melayu, fenomena para Sultan Palembang yang banyak menjadikan tokoh-tokoh agama sebagai patron keilmuan mereka, memang merupakan gejala umum yang biasa terjadi. Di Aceh pada masa keemasan kesultanannya misalnya, muncul ulama-ulama yang bertindak sebagai “patron keilmuan” penguasa. Beberapa sarjana, seperti Schrike , Hasjmi , dan Azra , misalnya, menduga bahwa di penghujung abad 16 dan awal abad 17, ada seorang tokoh agama terkemuka yang oleh Sir James Lancaster —utusan khusus Inggris untuk membicarakan perjanjian dan perdamaian dengan Aceh pada 1602— disebut sebagai “chiefe bishope” (uskup kepala) Aceh. Ketiga sarjana itu meyakini bahwa chiefe bishope itu adalah Hamzah al-Fansuri, yang ditunjuk oleh Sultan Alauddin Ri‘ayat Shah sebagai wakilnya di bidang agama.

Namun, dalam hal ini penting diperhatikan bahwa berdasarkan penelitian paling mutakhir (Guillot & Kalus 2000), Hamzah Fansuri telah meninggal pada tahun 1527, jauh sebelum tahun 1602 yang disebut oleh beberapa sarjana di atas. Memang, temuan tersebut masih diperdebatkan oleh sarjana lain (Braginsky 2001), tetapi jika data itu benar, maka yang disebut sebagai chiefe bishope oleh Sir James Lancaster barangkali bukan Hamzah al-Fansuri, melainkan Shams al-Din al-Sumatrai, yang menjadi ulama istana masa berikutnya, seperti disebut oleh van Nieuwenhuije (1945: 18) dan Iskandar (1959: 137, 153, 168). Dalam konteks ini, siapapun tokoh tersebut, jelas bahwa pada masa itu telah terjalin “hubungan mesra” antara ulama dengan penguasa (Sultan).

Kemudian, pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Tsani, Nuruddin al-Raniri juga menduduki posisi sebagai Shaikh al-Islâm. Demikian halnya Shaikh Abdurrauf al-Sinkili, yang menggantikan posisi al-Raniri sebagai ulama istana, merupakan salah seorang ulama ‘mumpuni‘ pada masa keemasan Kesultanan Aceh, di mana ia menjabat sebagai Qâdî Malik al-‘Adil, terutama pada masa kekuasaan Sultanah Safiatuddin (pembahasan tentang tokoh-tokoh tersebut, lihat, antara lain, Azra 1994: 166-208).

Demikian halnya di Palembang, sejak awal para Sultan yang berkuasa telah memberikan kontribusi atas terciptanya atmosfir keilmuan di wilayah ini. Para Sultan Palembang periode awal, misalnya, sangat pro-aktif melakukan usaha-usaha untuk menarik perhatian sejumlah ulama Arab agar mau berkunjung dan tinggal di wilayahnya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh para Sultan Palembang untuk menarik minat para migran Arab agar datang ke Palembang adalah melalui kerjasama ekonomi. Hasilnya, para migran Arab, terutama dari Hadhramaut, mulai berdatangan ke Palembang dalam jumlah yang semakin besar sejak abad 17, bahkan sebagian di antara mereka memilih untuk menjalin hubungan kekerabatan melalui pernikahan, dan akhirnya tinggal menetap di Palembang. Upaya-upaya para sultan Palembang seperti ini sebenarnya tidak hanya dilakukan terhadap para ulama Arab, tetapi juga terhadap etnis lain, seperti Cina misalnya, sehingga kesultanan Palembang pada masa itu menjadi sangat kosmopolit (tentang hal ini, lihat Andaya 1993, khususnya bab 2).

Dan —seperti telah diisyaratkan di atas— menjelang pertengahan abad tersebut, di kesultanan Palembang telah muncul beberapa ulama Arab yang belakangan memainkan peranan penting dalam pertumbuhan tradisi keilmuan Islam di wilayah ini (lihat Azra 1994: 244). Lebih dari itu, para ulama Arab tersebut banyak memberikan kontribusi terhadap munculnya istana Palembang sebagai pusat pengetahuan di kemudian hari, di mana koleksi besar karya-karya keagamaan para ulama setempat banyak disimpan. Ini, pada akhirnya juga lebih menegaskan tesis tentang Islam sebagai fenomena istana, yang menempati posisi strategis dalam wacana keilmuan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia.

Dengan latar belakang sosial-politik demikian, tidak heran kemudian jika pada periode-periode berikutnya, terutama antara abad 18 dan 19, Palembang telah melahirkan sejumlah ulama penting yang tergolong produktif di zamannya, seperti Shihabuddin bin Abdullah Muhammad, Kemas Fakhruddin, Muhammad Muhyiddin, Kemas Muhammad bin Ahmad, dan yang paling menonjol serta paling berpengaruh di antaranya, Shaikh Abdussamad al-Palimbani. Mereka semua telah memberikan kontribusi penting terhadap munculnya tradisi keilmuan Islam di Palembang khususnya dan di Melayu-Indonesia pada umumnya, dengan mengarang dan menerjemahkan kitab-kitab keagamaan, sehingga masyarakat Muslim di wilayah ini bisa mengakses berbagai pengetahuan keislaman.

Dari penjelasan di atas, setidaknya ada dua faktor utama yang melatarbelakangi munculnya Palembang sebagai pusat keilmuan Islam, termasuk di dalamnya tradisi menulis dan menerjemahkan kitab-kitab keagamaan. Pertama, karena situasi sosial politik kesultanan Palembang yang sangat kondusif untuk pengembangan iklim keilmuan, di mana ulama —seperti pernah terjadi di Aceh— sering menjadi patron keilmuan para sultan. “Kemesraan” antara ulama dan sultan Palembang terutama terjadi pada masa Kemas Fakhruddin, yang menjadi ulama istana saat Sultan Ahmad Najmuddin menjadi penguasa hingga tahun 1774, dan berlanjut pada masa Sultan berikutnya, yakni Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1804). Tidak heran kemudian, jika umumnya, seperti akan dikemukakan di bawah, karya-karya terjemahan Kemas Fakhruddin merupakan pesanan dari sang Sultan (lihat Drewes 1977: 220-221).

Faktor kedua yang melatarbelakangi munculnya tradisi menulis dan menerjemahkan kitab-kitab keagamaan di Palembang adalah, —seperti dijelaskan di atas— karena adanya kontak intelektual, dan kemudian transmisi keilmuan, yang terjadi antara para ulama Melayu-Indonesia —yang kemudian dikenal sebagai “ulama Jawi”— termasuk para ulama Palembang di dalamnya, dengan para ulama di pusat dunia Islam, khususnya Makkah dan Madinah (Haramayn).

Kemampuan para ulama Palembang menulis dan menerjemahkan berbagai kitab keagamaan, setidaknya mengisyaratkan kepada kita betapa mereka tergolong mumpuni dan menguasai bahasa Arab dengan sangat baik. Sayangnya, hingga kini, biografi lengkap dari Shihabuddin bin Abdullah Muhammad belum banyak diketahui , kendati rasanya sulit untuk tidak menduga bahwa Shihabuddin pernah belajar di Tanah Arab, atau setidaknya melakukan kontak intelektual —meskipun tidak langsung— secara intens dengan ulama-ulama di berbagai pusat keilmuan Islam, terutama di Haramayn, mengingat kemampuan menerjemahkan, apalagi mengarang, teks-teks berbahasa Arab membutuhkan penguasaan atas bahasa tersebut secara aktif dan optimal.

Naskah-naskah Terjemahan: Beberapa Karakteristik Dasar

Pada dasarnya, terdapat setidaknya dua model terjemahan yang biasa dilakukan oleh para penulis dan penerjemah Melayu —termasuk oleh para ulama Palembang— khususnya dalam hal penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Melayu (dan bahasa-bahasa daerah lain tentunya). Model pertama, terjemahan bebas, di mana umumnya penerjemah terlebih dahulu menuliskan beberapa kalimat dari teks Arabnya, kemudian langsung diikuti dengan terjemahannya dalam bahasa Melayu. Umumnya, sifat terjemahan model ini lebih bebas, meskipun sistematika dan substansi pembahasannya masih secara ketat mengikuti alur teks Arabnya.

Dalam model terjemahan pertama ini, termasuk di dalamnya adalah karya-karya terjemahan dengan sharh, yakni karya terjemahan yang, selain mengalihbahasakan seluruh teks Arabnya, juga diikuti berbagai penjelasan dan tambahan dari penerjemah berkaitan dengan topik yang dibahas di setiap halaman. Tidak jarang, penjelasan dari penerjemah ini terdapat dalam jumlah yang besar, serta diambil dari beberapa penjelasan kitab lain, sehingga jumlah halaman naskahnya secara keseluruhan menjadi jauh lebih tebal dibanding dengan teks aslinya. Dalam hal ini, kitab terjemahan model sharh bisa dianggap lebih dari sekedar sebuah karya terjemahan, karena di dalamnya seringkali terdapat buah pikiran yang asli berasal dari ide sang penerjemah.

Model kedua adalah terjemahan antarbaris, di mana teks Arabnya tetap disertakan secara utuh, baris per baris, kemudian teks terjemahannya ditulis persis di bawah teks Arab tersebut. Berbeda dengan model terjemahan pertama, corak terjemahan antarbaris ini lebih bersifat harfiah, dan lebih dimaksudkan untuk menjelaskan arti teks Arabnya, kata demi kata. Dalam konteks terjemahan antarbaris inilah sesungguhnya apa yang disebut di bagian awal sebagai “bahasa Melayu Kitab” muncul, yakni ketika bahasa Melayu digunakan untuk mengalihbahasakan bahasa Arab secara harfiyah, kata demi kata.

Dalam tradisi penerjemahan kitab-kitab keagamaan, satu hal dapat digaris bawahi, yakni bahwa sejauh data yang ada, tidak dijumpai adanya teks keagamaan berbahasa Melayu yang tidak menyertakan sama sekali teks Arabnya. Bahkan, teks-teks keagamaan Melayu yang bukan terjemahan pun seringkali menyertakan beberapa kata pinjaman dari bahasa Arab. Hal ini tampaknya didasari oleh keyakinan yang berkembang di kalangan masyarakat Muslim pada umumnya bahwa bahasa Arab adalah bahasa sucinya agama Islam; oleh karenanya, semua teks keagamaan —tidak hanya teks al-Quran— akan dianggap lebih sempurna, lebih otentik, dan lebih orisinil, jika disertai dengan teks Arabnya. Dengan demikian, teks atau manuskrip terjemahan dalam bahasa Melayu pun, dengan menyertakan teks Arabnya, menjadi tetap otoritatif sebagai sumber pengetahuan Islam.

Kesahihan dan nilai otoritatif memang sangat penting dalam tradisi keilmuan-keagamaan Islam. Dalam tradisi hadis misalnya dikenal adanya isnad; yakni mata rantai yang menghubungkan satu perawi hadis dengan perawi lainnya. Jika dijumpai satu orang saja dalam mata rantai tersebut yang memiliki sifat tidak dapat dipercaya (tidak thiqah), maka hadis yang diriwayatkannya patut diragukan. Demikian halnya dalam dunia tasawuf dikenal adanya silsilah tarekat; jika sebuah ajaran tarekat disampaikan melalui mata rantai guru murid yang terpercaya, dan silsilahnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw, maka hampir dapat dipastikan tarekat tersebut akan dianggap benar (mu‘tabarah), dan diterima oleh mayoritas Muslim. Nah, kaitannya dengan teks-teks terjemahan ini, umumnya masyarakat Muslim lebih bisa menerima dan menganggap lebih orisinal teks yang mengandung bahasa Arab, dibanding teks yang murni bahasa Melayu.

Dalam konteks dua model terjemahan di atas, —kendati juga dijumpai terjemahan antarbaris— yang menonjol di kalangan para ulama Palembang adalah model yang pertama, yakni terjemahan bebas dengan sharh, itupun dengan beberapa variasi dan perbedaan gaya terjemahan seperti akan dikemukakan di bawah. Untuk kepentingan penulisan artikel ini, saya akan memerikan karakteristik beberapa naskah terjemahan yang saya anggap mewakili dua model terjemahan tersebut, dengan asumsi bahwa karakteristik yang muncul dalam satu naskah, umumnya —meskipun tidak selalu— juga terdapat di dalam naskah-naskah terjemahan lainnya.

Di antara naskah terjemahan karangan ulama Palembang adalah kitab Sharh ‘Aqidatul Iman, yang ditulis oleh Shihabuddin pada hari Ahad 7 Jumadil Awwal 1162 H/24 April 1748 M. Sayangnya, kendati disebutkan, oleh Iskandar 1995: 447, atau Drewes 1977: 219 misalnya, bahwa salinan naskah ini banyak tersimpan di berbagai perpustakaan termasuk Perpustakaan Nasional Jakarta, tetapi karena dalam dua sumber tersebut tidak disebutkan kode dan nomor naskahnya, maka saya mendapatkan kesulitan untuk menemukannya dalam daftar katalog naskah Perpustakaan tersebut, sehingga sampai tulisan ini dibuat, saya belum dapat membaca naskahnya secara langsung, dan oleh karenanya berbagai keterangan tentang naskah tersebut “hanya” diperoleh dari sumber kedua. Dalam katalog Behrend (ed) 1998: 285 memang dijumpai judul yang hampir sama, yakni Aqaid al-Iman dengan kode naskah Ml 230, akan tetapi ternyata naskah tersebut bukan karangan Shihabuddin seperti yang dimaksud dalam tulisan ini.

Informasi yang lebih jelas mengenai keberadaan naskah Sharh ‘Aqidatul Iman ini sebetulnya dikemukakan oleh Wan Shagir Abdullah (1999: 27), yakni di Pusat Manuskrip Melayu Malaysia (PMM-PNM) dengan kode MS 1522. Naskah ini merupakan salinan yang dilakukan oleh Mahmud bin Muhammad Yusuf bin Abdul Qadir Terengganu pada Jumat, 16 Rabiul Awwal 1260 H/5 April 1844 M. Dengan demikian, jarak waktu dari penulisan naskah asli dengan salinannya hampir satu abad. Sayangnya, untuk kepentingan tulisan ini, saya juga belum dapat mengakses naskah koleksi PMM-PNM itu.

Dalam pemeriannya tentang kitab Sharh ‘Aqidatul Iman, Wan Shagir Abdullah mengutip bagian awal teks ini, di mana Shihabuddin mengatakan: “…Kemudian daripada itu, maka inilah suatu syarh yang lathif atas mukhtasar Jauhar Tauhid namanya, bagi Syekh yang fadhil lagi ‘alim Ibrahim Laqani nauwarallahu dharihahu…” (dikutip dari Abdullah 1999: 28).

Menarik diperhatikan bahwa kalimat: “syarh yang lathif atas mukhtasar Jauhar Tauhid namanya” dalam kutipan teks tersebut, tampaknya sering dirujuk oleh beberapa sarjana untuk menyebut judul naskah ini (lihat misalnya Iskandar 1995). Akan tetapi, dalam hal ini, judul Sharh ‘Aqidatul Iman tampaknya lebih tepat, mengingat dalam lanjutan teksnya, Shihabuddin mengatakan: “…Dan kunamai ia akan Syarh ‘Aqidatil Iman di dalam Syarah Jauhar Tauhid, halnya aku ibaratkan dengan bahasa Jawi supaya mudah bagi orang yang mubtadi di dalam agama…”. Dari kutipan terakhir di atas juga dapat diketahui bahwa motivasi ditulisnya naskah terjemahan —yang dalam edisi Arabnya merupakan ulasan tentang Jauhar al-Tauhid gubahan Ibrâhîm al-Laqqânî— ini adalah agar ajaran-ajaran Islam yang terdapat di dalamnya dapat dimanfaatkan oleh kalangan Muslim awam (mubtadi).

Memang, tidak diragukan lagi bahwa tradisi penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab di wilayah Melayu-Indonesia khususnya, muncul dalam konteks sosialisasi berbagai khazanah pemikiran Islam oleh para ulama Jawi, yang ditujukan bagi kelompok masyarakat Melayu kebanyakan.

Penting dikemukakan bahwa berdasarkan pengetahuan saya atas kitab Jauhar al-Tauhid yang syarahnya diterjemahkan oleh Shihabuddin ini, kitab Sharh ‘Aqidatul Iman niscaya berisi pembahasan tentang pokok-pokok keimanan, antara lain menyangkut sifat-sifat wajib, jaiz, dan mustahil pada Tuhan berdasarkan teologinya Asy‘ariyyah yang beraliran sunni. Umumnya, para ulama Melayu-Indonesia memang mengikuti aliran sunni ini, tak terkecuali para penerjemah ulama Palembang.

Kitab terjemahan lain karangan ulama Palembang adalah Kitab Mukhtasar, yang ditulis oleh Kemas Fakhruddin. Kitab Mukhtasar ini merupakan terjemahan dari kitab Risâlat fî al-Tauhîd karangan Walî Raslân al-Dimashqî. Dalam pembahasan kitab ini, Kemas Fakhruddin, selain menerjemahkan, juga banyak memberikan penjelasan (sharh) yang bersumber dari kitab Fath al-Rahmân karya Zakariyyâ al-Ansârî (w. 1520), yang memang merupakan ulasan atas kitab Risâlah fî al-Tauhîd tersebut, ditambah dengan penjelasan dari kitab Khamrat al-Khan karangan Shaikh ‘Abd al-Ghânî ibn Isma‘il al-Nâbulûsî (w. 1731). Tentang hal ini, Kemas Fakhruddin mengatakan pada bagian awal: “…Aku menterjemahkan kitab ini dengan bahasa Jawi supaya mudah bagi segala orang yang mubtadi memfahamkan dia, dan sesungguhnya telah kumasukkan sedikit daripada perkataan syarahnya Fath al-Rahman bagi Shaikh Zakariya al-Anshari, dan sharahnya Khamrat al-Khan bagi Shaikh ‘Abd al-Ghani ibn Isma‘il…” (MS Perpustakaan Nasional, no. Ml 823, h. 1).

Keinginan para ulama untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mubtadi, yakni orang awam yang tidak menguasasi bahasa Arab, dalam mengakses berbagai pengetahuan Islam, tampaknya memang menjadi salah satu motivasi umum saat itu untuk menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab yang dianggap penting, sehingga model kutipan seperti di atas banyak dijumpai dalam naskah-naskah terjemahan.

Yang menarik dari Kitab Mukhtasar karya Kemas Fakhruddin ini, antara lain, adalah berkaitan dengan sistematika penulisannya yang sedikit berbeda dengan model terjemahan kitab lain. Umumnya, para penerjemah kitab Melayu terlebih dahulu mengutip kalimat aslinya dalam bahasa Arab, kemudian menerjemahkannya, dan memberikan komentar atau penjelasan (sharh) atasnya. Sementara Kemas Fakhruddin, justru lebih sering melakukan pola sebaliknya, yakni dengan menempatkan teks Arab yang akan diterjemahkannya itu sebagai justifikasi atas pokok persoalan yang sedang dibahas, sehingga bagian yang sebetulnya merupakan komentar atau penjelasan dari sang penerjemah seringkali dikemukakan terlebih dahulu, dan baru kemudian teks Arabnya.

Sebagai contoh, Kemas Fakhruddin menulis (h. 3): “…dan adalah bahwasanya dirinya manusia itu mahjub daripadanya dengan agyar, maka apabila telah keluar ia daripada agyar niscaya terangkatlah hijab daripada dirinya, maka dikenalnya dirinya, dan apabila telah dikenalnya dirinya niscaya keluarlah ia dari pada dirinya, maka dikenalnya Tuhannya, dan karena inilah kata muallif radiyallahu anhu: fakullamâ akhlasta yaksyifu laka annahu huwa lâ anta fa tastagfiru minka…”. Dalam contoh di atas, teks Arab yang diterjemahkan adalah fakullamâ akhlasta yaksyifu laka annahu huwa lâ anta fa tastagfiru minka, yang ditempatkan di bagian akhir, sedangkan pembahasan, komentar, dan penjelasannya dikemukakan terlebih dahulu dalam bahasa Melayu. Memang, setelah kutipan kalimat Arab itu, penerjemah juga tetap menyertakan terjemahnya yang lebih bersifat harfiyah. Dalam contoh di atas misalnya, setelah teks Arab itu, Kemas Fakhruddin menulis: “…maka, manakala telah kholis engkau dengan keluar daripada demikian itu, niscaya dibukakan bagimu bahwasanya Ia jua yang maujud sendiri-Nya dengan wujud yang qadim, tiada engkau artinya tiada wujud bagimu…”. Setelah itu, biasanya Kemas Fakhruddin melanjutkan dengan topik bahasan yang sesuai dengan teks Arab berikutnya, dan begitulah seterusnya.

Pola penerjemahan seperti ini dilakukan oleh Kemas Fakhruddin secara konsisten di hampir keseluruhan bagian kitab Kitab Mukhtasar ini, sehingga karenanya, Kemas Fakhruddin beberapa kali menggunakan ungkapan kalimat yang bernada justifikasi, seperti: …dan karena inilah kata muallif…, …maka kata muallif…, …maka katanya…, …seperti yang diisyaratkan muallif dengan katanya…, …maka menyatakan muallif…, dan ungkapan-ungkapan lainnya yang bertujuan untuk mengutip teks dari bahasa sumber, dalam hal ini Arab, sebagai justifikasi atas penjelasannya.

Hal lain yang dapat diungkapkan dari Kitab Mukhtasar ini adalah gaya dan struktur kalimat bahasa Melayunya yang sangat dipengaruhi oleh gaya dan struktur kalimat bahasa Arab. Di antara pengaruh bahasa Arab yang paling menonjol dalam bahasa Melayunya Kitab Mukhtasar adalah berkaitan dengan ungkapan kata kerjanya (verb). Seperti diketahui, sistem gramatika Arab mengatur adanya perubahan bentuk kata kerja (infleksi), baik karena adanya perubahan waktu, jumlah pelaku (subject), atau karena adanya perbedaan jenis kelamin pelaku. Misalnya ungkapan Arab yang berarti “menulis”, jika pelakunya orang ketiga tunggal, dan melakukan pekerjaan menulisnya pada waktu yang telah lewat, ungkapannya adalah “kataba” untuk laki-laki, dan “katabat” untuk perempuan, tetapi, ketika aspek waktunya berubah, misalnya pekerjaan menulisnya masih berlangsung, ungkapannya adalah “yaktubu” untuk laki-laki, dan “taktubu” untuk perempuan.

Pengaruh sistem dan struktur bahasa Arab semacam itu sangat menonjol dalam bahasa Melayu Kitab, termasuk yang digunakan oleh Kemas Fakhruddin dalam Kitab Mukhtasar ini. Di antara indikasinya adalah sering digunakannya kata “telah” ketika menerjemahkan kata kerja yang dalam teks Arabnya menggunakan kata kerja bentuk lampau (fi‘l mâdi). Sebagai contoh kalimat “akhlasta” diterjemahkan dengan “telah khalis engkau”, “kharajta” menjadi “telah keluar engkau”, “araftu” menjadi “telah engkau ketahui”, “zâda” menjadi “telah bertambah” dan lain-lain.

Selain itu, pengaruh bahasa Arab dalam bahasa Melayunya Kitab Mukhtasar ini juga tampak dalam susunan kalimatnya yang terkesan mengikuti “secara harfiyah” susunan pola kalimat bahasa Arab. Kalimat “idhâ kunta ma‘ahu” misalnya, diterjemahkan menjadi: “apabila ada engkau sertanya” (h. 7), demikian halnya kalimat “lâ yakâdu yakhlisu” diterjemahkan menjadi “tiada hampir ikhlas ia” (h. 49).

Contoh lain dari kuatnya pengaruh Arab adalah masih banyak digunakannya istilah-istilah keagamaan dalam bahasa Arabnya, tanpa dicarikan padanannya dalam bahasa Melayu. Kemas Fakhruddin, misalnya mengatakan: “…dan tiada zahir bagimu tauhidmu melainkan apabila telah keluar engkau daripada dirimu dan daripada segala “agyâr” dengan sebab keluarmu daripada segala sifat “bashariyyah”, dan meninggalkan “ikhtiyâr” dan “tadbîr”, dan “tahqîq” pada “maqâm al-‘ubûdiyyah” (h. 2). Beberapa istilah seperti agyâr, bashariyyah, ikhtiyâr, tadbîr, dan tahqîq dalam contoh di atas dibiarkan dalam bahasa aslinya, Arab, kendati bagi kalangan tertentu akan menyulitkan pemahaman atas keseluruhan teksnya.

Dibanding Shihabuddin, Kemas Fakhruddin tampaknya lebih produktif dalam menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab. Ini setidaknya terlihat dari lebih banyaknya karya-karya terjemahan yang dihasilkannya. Umumnya, selain Kitab Mukhtasar di atas, judul kitab-kitab terjemahan Melayu yang ditulis Kemas Fakhruddin persis sama dengan judul aslinya dalam bahasa Arab. Kitab-kitab terjemahan lain yang diyakini sebagai karya Kemas Fakhruddin adalah: Mukhtasar Futûh al-Sha‘m karangan Abû Ismâ‘îl al-Basrî (w. akhir abad 2 H), Tuhfat al-Zamân fî Zarf al-Yamân karangan Ibn Shaddâd al-Himyârî, dan Khawâs al-Qurân karangan Ahmad ibn Muhammad al-Tamîmî (hidup pada paruh pertama abad 13).

Berbeda dengan naskah-naskah terjemahan karangan Shihabuddin yang lebih sulit diketahui tempat penulisannya, diduga kuat bahwa naskah-naskah terjemahan karangan Kemas Fakhruddin ini lebih banyak ditulis di Palembang. Hal ini terutama didukung oleh data dalam beberapa naskahnya yang menjelaskan bahwa naskah tersebut ditulis atas permintaan keluarga Sultan yang berkuasa. Kitab Tuhfat al-Zamân yang mulai ditulis pada 1761 misalnya, dibuat atas permintaan Pangeran Ratu (Raja Muda Palembang), putera Sultan Ahmad Tajuddin.

Demikian halnya dengan kitab Khawâs al-Qurân, yang ditulis mulai tahun 1769, dikarang oleh Kemas Fakhruddin atas perintah Sultan Ahmad Najamuddin. Seperti diketahui, bahwa hampir di sepanjang karirnya, Kemas Fakhruddin menjabat sebagai ulama keraton di zaman Sultan Ahmad Najmuddin (turun tahta pada 1774), dan pada masa penggantinya, Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1804) (lihat, antara lain, Iskandar 1995: 449-450, dan Braginsky 1998: 477).

Ulama penerjemah kitab dari Palembang berikutnya adalah Shaikh Abdussamad al-Palimbani. Dibanding Shihabuddin dan Kemas Fakhruddin, referensi tentang riwayat al-Palimbani jauh lebih banyak, meskipun sejauh ini ada beberapa versi yang berbeda mengenai jati diri ayahnya (tentang hal ini, lihat Abdullah 1996: 5-15, yang diceritakan kembali dalam Abdullah 2000: 4-Cool.

Salah satu versi yang didasarkan pada teks Tarikh Salasilah Negeri Kedah menyebutkan bahwa al-Palimbani adalah anak dari Shaikh ‘Abd. al-Jalîl ibn Shaikh ‘Abd. Wahhâb ibn Shaikh Ahmad al-Mahdânî, seorang keturunan Arab, tepatnya dari Shan‘a, Yaman, yang menyebarkan agama Islam ke Dunia Melayu, dan tiba di Palembang pada sekitar akhir abad 17. Di Palembang ini, Shaikh Abd. al-Jalîl menikah dengan seorang wanita pribumi, yang bernama Raden Ranti, dan kemudian melahirkan seorang anak yang kelak dikenal sebagai seorang ulama sufi Melayu, penulis dan penerjemah kitab-kitab terkemuka, Shaikh Abdussamad al-Palimbani.

Selain dengan wanita Palembang, —masih menurut Tarikh Salasilah Negeri Kedah— ayah al-Palimbani juga menikah dengan seorang wanita keturunan istana Kedah, Wan Zainab binti Dato Maharaja Putra Dewa, dan memperoleh dua anak, yakni Wan Abdul Qadir yang kelak menjadi Mufti kerajaan Kedah, dan Wan Abdullah yang memangku gelaran Seri Maharaja Putera Dewa di Kedah (Abdullah 1996: 15). Dengan demikian, berdasarkan sumber versi pertama ini, al-Palimbani juga memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga istana Kedah tersebut. Dan jika sumber ini benar, maka al-Palimbani merupakan keturunan dari keluarga sayyid (komunitas Arab yang menisbatkan silsilah keluarganya sampai kepada Nabi Muhammad Saw), yang pada masa itu —seperti diisyaratkan di bagian awal tulisan ini— memang banyak singgah dan bahkan bermukim serta berkeluarga di Palembang.

Hanya saja, menurut Wan Shagir Abdullah, versi lain yang didasarkan pada kitab Hidayatus Salikin terbitan Al-Ahmadiah Press, Singapura menyebutkan bahwa ayah al-Palimbani bernama Abdurrahman al-Jawi al-Palimbani. Nama —yang jauh berbeda dengan nama dalam sumber pertama— ini juga terdapat dalam naskah Zahratul Murid koleksi pribadi Shagir Abdullah, dan dalam naskah ‘Iqdul Farid min Jawahiri Asanid karangan Shaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Padani (Abdullah 1996: 6-7). Selain itu, berdasarkan informasi dari Zulkifli, salah seorang peneliti dari Palembang, nama Abdurrahman al-Jawi al-Palimbani juga memang ditemukan dalam sebuah naskah berjudul Faid al-Islam, karangan seorang Perempuan Palembang . Jika sumber versi kedua ini yang benar, berarti ayah al-Palimbani bukan berasal dari keluarga sayyid, melainkan orang Palembang asli, atau setidaknya keturunan Melayu asli, karena umumnya nisbah “al-Jawi” hanya dipakai oleh ulama yang benar-benar berasal dari Tanah Melayu (baca: Nusantara).

Terlepas dari adanya perbedaan mengenai jati diri ayahnya, menurut beberapa sumber yang dikutip oleh Abdullah, al-Palimbani mendapatkan pendidikan dasar keislaman dari keluarganya sendiri (Abdullah 1996: 32). Kemudian, pendidikan lanjutan al-Palimbani ditempuh di beberapa lembaga pendidikan tradisional (pondok) di Patani, wilayah Selatan Thailand. Dalam konteks Dunia Muslim Melayu, Patani sendiri pernah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam, dan bahkan pernah dijuluki sebagai “the cradle of Islam”. Sebutan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa sejak paruh pertama abad 18 hingga awal abad 19, Patani telah melahirkan sejumlah ulama mumpuni dan produktif semisal Shaikh Dawud al-Fattani dan Shaikh Ahmad al-Fattani.

Di antara para ulama Melayu, Shaikh Dawud al-Fattani bahkan dianggap sebagai the most productive author of Kitab Jawi in the nineteenth century (lihat Matheson & Hooker 1988: 1). Ia telah menghasilkan sedikitnya 66 karya berbobot di berbagai bidang keislaman. Dengan iklim keilmuan Islam yang berkembang seperti ini, tidak mengherankan jika Patani menjadi salah satu tempat tujuan bagi mereka yang bermaksud menimba berbagai pengetahuan keislaman, termasuk dalam hal ini Abdussamad al-Palimbani.

Di Patani inilah sesungguhnya al-Palimbani memperoleh “modal awal” untuk menjadi seorang pengarang dan penerjemah kitab di dunia Melayu. Melalui bimbingan beberapa orang gurunya, —salah seorang di antara guru al-Palimbani di Patani yang diketahui pasti adalah Shaikh Abdurrahman bin Abdul Mubin Pauh Bok— al-Palimbani telah menghafal dan menguasai berbagai kitab dalam berbagai bidang keilmuan Islam seperti gramatika Arab (nahwu sharaf), syariat Islam (fiqh), teologi Islam (tauhid), dll. Penguasaan keilmuan Islam al-Palimbani semakin lengkap dan kokoh setelah selama tidak kurang dari 30 tahun ia melanjutkan pelajarannya di Makkah, dan 5 tahun di Madinah (lihat Abdullah 2000: 16).

Di dua tempat suci ini, al-Palimbani melengkapi pengetahuan keislamannya dengan ilmu-ilmu hadis, tafsir, tasawuf, dll. Di bidang yang disebut terakhir, al-Palimbani terutama belajar dengan Shaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Sammânî al-Madanî. Melalui Shaikh Sammân ini, al-Palimbani menerima ijazah, baik dalam tarekat Sammaniyah sendiri maupun dalam tarekat Khalwatiyah (tentang jaringan guru-guru al-Palimbani selengkapnya, lihat Azra 1994: 247-251; lihat juga Abdullah 1996: 32-61).

Melihat latar belakang pendidikan al-Palimbani yang demikian paripurna ini, tidak mengherankan kemudian jika al-Palimbani sangat fasih dalam mengarang kitab-kitab berbahasa Arab, dan atau menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu. Sejauh yang diketahui, al-Palimbani telah mengarang setidaknya tiga kitab dalam bahasa Arab, yaitu Nasîhat al-Muslimîn, al-‘Urwat al-Wuthqâ, dan Râtib Sammân. Sedangkan kitab terjemahannya, antara lain, Hidâyat al-Sâlikîn fî Sulûk Maslak al-Muttaqîn, Siar al-Sâlikîn ilâ ‘Ibâdat Rabb al-‘Alamîn, dan Mulakhkhas li al-Tuhfah al-Mursalah.

Mengikuti kategorisasi model kitab terjemahan seperti dikemukakan di atas, dua kitab terjemahan al-Palimbani yang disebut pertama merupakan jenis terjemahan bebas yang diikuti dengan berbagai penjelasan (sharh), sedangkan kitab Mulakhkhas li al-Tuhfah merupakan model terjemahan antarbaris. Selain kitab-kitab tersebut, al-Palimbani juga menerjemahkan “catatan pribadinya” selama belajar dengan Shaikh Ahmad Ibn ‘Abd al-Mun‘im al-Damanhûrî dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu, berdasarkan permintaan beberapa koleganya dari Tanah Melayu. Kitab tersebut berjudul Zuhrat al-Murîd fî Bayân Kalimat al-Tauhîd.

Dalam sebagian besar kitab terjemahannya yang berbahasa Melayu, satu hal yang akan segera tampak adalah betapa al-Palimbani sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dan karya-karya Imam al-Ghazali. Kitab Hidâyat al-Sâlikîn fî Sulûk Maslak al-Muttaqîn misalnya, adalah merupakan terjemahan dari kitab Bidâyat al-Hidâyahnya al-Ghazali, yang membicarakan tentang berbagai persoalan syariat (fikih), yang dibahas melalui perspektif tasawuf. Sepintas melihat beberapa judul babnya, kitab ini terkesan sebagai sebuah kitab fikih belaka.

Sebagai contoh, dalam Hidâyat al-Sâlikîn —yang terdiri dari satu mukaddimah, tujuh bab, dan satu khatimah— ini terdapat sebuah bab yang berjudul “Faslun fî Adâb al-Wudlû” (h. 33), yang diterjemahkan oleh al-Palimbani menjadi “Fasal pada menyatakan adab mengambil air sembahyang” (berwudlu). Pembahasan tentang tata cara wudlu tentu saja merupakan bidang kajian fikih, dan oleh karenanya selalu ada dalam setiap kitab fikih. Tetapi, berbeda dengan kitab-kitab fikih pada umumnya, Hidâyat al-Sâlikîn tidak hanya mengemukakan pembahasan tentang praktek berwudlu, melainkan juga pembahasan tentang bagaimana cara memperoleh kesempurnaan wudlu ini secara batiniah dengan, antara lain, menyertakan doa-doa untuk dibaca pada setiap gerakan dalam berwudlu itu. Hal ini tentu saja tidak pernah dikemukakan dalam kitab-kitab yang “murni” sebagai kitab fikih.

Sesuai keterangan pada kolofon di bagian akhir, kitab Hidâyat al-Sâlikîn selesai ditulis oleh al-Palimbani di Makkah pada 1192 H/1778 M. Di kalangan masyarakat Melayu, baik yang berada di tanah Melayu sendiri maupun yang tinggal di dunia Islam lainnya, kitab ini rupanya sangat popular, terbukti dari banyak dijumpainya salinan naskah serta edisi cetak dari kitab tersebut, baik yang dicetak di Makkah, Mesir, Bombay, Kualalumpur, Jakarta, dll (lihat antara lain Drewes 1977: 222). Kitab yang dijadikan rujukan dalam tulisan ini sendiri adalah edisi cetak dari penerbit S. A. Al-‘Aydarûs, Jakarta, tanpa tahun pencetakan.

Berbeda dengan gaya terjemahan yang dilakukan Kemas Fakhruddin dalam Kitab Mukhtasar-nya, gaya terjemahan al-Palimbani dalam Hidâyat al-Sâlikîn merupakan gambaran dari gaya terjemahan kitab-kitab Melayu pada umumnya, di mana teks Arab dikemukakan terlebih dahulu, baru kemudian diiringi berbagai penjelasan (sharh), baik yang dikemukakan sebagai pendapatnya sendiri maupun kutipan dari para ulama terdahulu, terutama Imâm al-Ghazâlî. Biasanya, penjelasan yang diberikan berakhir pada ungkapan yang langsung menghubungkan dengan teks Arab berikutnya, sehingga antar”paragraf”nya tidak terasa ada “loncatan” pembahasan.

Sedangkan dari segi struktur kalimat dan pilihan kata, Hidâyat al-Sâlikîn tampaknya tidak jauh berbeda dengan Mukhtasar-nya Kemas Fakhruddin maupun Sharh ‘Aqidatul Iman-nya Shihabuddin, atau bahkan dengan para penerjemah kitab Melayu lainnya, yakni sangat memperlihatkan adanya pengaruh dari bahasa Arab, bahkan —seperti halnya dalam Kitab Mukhtasar— beberapa kata Arab “tidak benar-benar diterjemahkan” ke dalam bahasa Melayu.

Sebagai contoh, al-Palimbani menerjemahkan kalimat: “al-sakhiyyu al-jâhilu ahabbu ilâ Allâhi ta‘âlâ min al-‘âbidi al-bakhîli” menjadi: “bermula orang yang murah hati yang jahil yaitu terlebih kasih kepada Allah Ta‘ala daripada orang yang abid yang kikir” (h. 209). Kata “al-jâhil” diterjemahkan menjadi “yang jahil”, dan kata “al-‘âbid” diterjemahkan menjadi: “abid”.

Fenomena “campur kode” antara bahasa Arab dengan bahasa Melayu seperti itu tampaknya merupakan hal yang biasa terjadi dalam tradisi penulisan dan penerjemahan kitab di Dunia Melayu. Di Aceh misalnya, Shaikh Abdurrauf al-Sinkili, dalam kitab Mir‘at at-Tullab, memilih kata dzakar untuk menyebut “laki-laki”, sikkin untuk “pisau”, muhtaj untuk “perlu”, mubarak untuk “diberkati”, mursal “yang diutus”, dan beberapa kata Arab lainnya (lihat Fathurahman 2000).

Kitab terjemahan Melayu lainnya yang ditulis al-Palimbani adalah Siar al-Sâlikîn ilâ ‘Ibâdat Rabb al-‘Alamîn. Seperti halnya Hidâyat al-Sâlikîn, kitab ini pun merupakan terjemahan dari kitab karangan al-Ghazali, dalam hal ini Lubâb Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn. Terlepas dari adanya dugaan bahwa pengarang Lubâb ini bukan al-Ghazali sendiri, melainkan saudaranya, Ahmad ibn Muhammad al-Ghazali (w. 1126), tetapi dapat dipastikan bahwa Lubâb Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn merupakan versi pendek dari magnum opusnya al-Ghazali, yaitu kitab Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn.

Kecenderungan al-Palimbani untuk menerjemahkan karya-karya, dan mengutip berbagai pemikiran, al-Ghazali memang menjadi catatan tersendiri dalam tradisi intelektual Islam Melayu, sehingga tidak berlebihan jika dalam konteks Dunia Islam Melayu, al-Palimbani dianggap sebagai penerjemah paling otoritatif dari karya-karya al-Ghazali.

Dalam hal gaya terjemahan, hampir tidak ada perbedaan antara kitab Siar al-Sâlikîn dengan Hidâyat al-Sâlikîn, keduanya dapat dianggap sebagai prototipe gaya penerjemahan kitab-kitab di Dunia Melayu yang non-terjemahan antarbaris, di mana teks Arab ditulis terlebih dahulu, baru kemudian terjemahannya dalam bahasa Melayu, yang disertai beberapa penjelasan (sharh). Sebagai contoh, al-Palimbani menulis teks Arab: “…man ibtada‘a gidâ‘ahu bi al-milhi adhhaba Allâhu ta‘âlâ ‘anhu sab‘îna nau‘an min al-balâ…”, yang kemudian diterjemahkan menjadi: “…artinya barangsiapa memulai akan makanan itu dengan garam, niscaya menghilangkan Allah Taala dari padanya tujuh puluh bagi daripada bala dan daripada penyakit…” (juz 2, h. 4). Dalam contoh terjemahan di atas, juga tampak betapa susunan bahasa Melayu yang digunakan oleh al-Palimbani mencerminkan gaya bahasa Melayu Kitab pada umumnya yang banyak dipengaruhi oleh susunan kalimat bahasa Arab.

Penting dikemukakan bahwa dari segi isinya, kitab Siar al-Sâlikîn jauh lebih lengkap dibanding Hidâyat al-Sâlikîn. Dalam edisi cetak yang dijadikan rujukan tulisan ini, Siar al-Sâlikîn terdiri dari dua kitab, yang dalam masing-masingnya terdapat dua jilid (juz). Panjangnya uraian kitab tersebut, selain karena kitab yang diterjemahkan memang lebih panjang, juga karena sharh yang diberikan oleh al-Palimbani lebih lengkap. Tidak jarang satu baris teks Arab diterjemahkan dan diberikan sharh oleh al-Palimbani sampai seperempat halaman, atau sekitar 10 baris (lihat misalnya juz 2, h. 71).

Di antara karya-karya al-Palimbani, Siar al-Sâlikîn ini —melihat kelengkapan isinya— bisa disebut sebagai karya utama dari al-Palimbani. Mempertimbangkan persebarannya dalam edisi cetak, tampaknya Siar al-Sâlikîn juga cukup populer di kalangan Dunia Islam Melayu, kendati berdasarkan pengalaman penulis saat mondok di salah satu pesantren tradisional di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat, kitab Siar al-Sâlikîn dan juga beberapa jenis kitab terjemahan bahasa Melayu lainnya tidak diajarkan oleh sang Kyai. Yang banyak digunakan justru sumber-sumber Arabnya langsung, seperti Ihyâ Ulum al-Dîn, Bidâyat al-Hidâyah, dll. Barangkali, kitab-kitab terjemahan Melayu semacam ini lebih banyak digunakan di beberapa lembaga pendidikan tradisional di wilayah Sumatra, seperti di Dayah Tanoh Abee, Aceh, atau di kawasan Melayu lain seperti Malaysia dan Patani.

Kitab terjemahan al-Palimbani berikutnya adalah Mulakhkhas li al-Tuhfah. Kitab yang merupakan terjemahan dari kitab Tuhfat al-Mursalah karangan Shaikh Fadl Allâh al-Burhânpûrî al-Hindî ini, bisa dianggap mewakili model terjemahan antarbaris di Dunia Islam Melayu yang —seperti telah dikemukakan— sangat harfiyyah dan terikat dengan struktur bahasa Arabnya. Contoh di bawah ini didasarkan pada kitab terjemahan Mulakhkhas li al-Tuhfah yang teksnya diterbitkan dalam Abdullah 2000: 233-258. Pada halaman 257 misalnya, kalimat “I‘lamû as‘adakum wa iyyânâ anna al-Haq subhânahû wa ta‘âlâ huwa al-wujûd lâ shakla lahû….", diterjemahkan kata per kata oleh al-Palimbani menjadi: “maka ketahui oleh kamu mudah-mudahan memberi bahagia oleh Allah akan kamu dan akan kami bahwasanya Haq Subhanahu wa taala itu yaitu wujud yang mutlak tiada baginya rupa…”.

Secara keseluruhan, —seperti umumnya dalam kitab-kitab terjemahan antarbaris— al-Palimbani tidak memberikan penjelasan apapun terhadap sebuah kata yang diterjemahkan. Sejauh yang saya baca, hanya ada satu kata yang diberi penjelasan “panjang”, yakni kata “al-mujallâ” ketika menerangkan salah satu sifat Tuhan, yang diterjemahkan menjadi “yang nyata”, dan setelah itu diberi penjelasan: “…dan syirik itu bagi orang yang punya dalam hatinya daripada barang yang lain daripada Allah taala…” (h. 258).

Sebetulnya, Shagir Abdullah (2000: 233) memberi judul atas kitab ini sebagai Tuhfat al-Mursalah, persis sama dengan teks aslinya. Akan tetapi, al-Palimbani dalam teks ini menyebutkan: “…maka aku namai akan risalah ini Mulakhkhas li al-Tuhfah…”, (h. 257). Satu hal yang sangat menarik dari kitab terjemahan Mulakhkhas li al-Tuhfah ini adalah al-Palimbani melakukan apa yang ingin saya sebut sebagai “representasi” atas teks aslinya. Saya mengatakan demikian karena ketika teks Arabnya saya bandingkan dengan teks Tuhfah al-Mursalah yang terlampir dalam bukunya A.H. Johns (1965), terjadi perubahan yang sangat signifikan menyangkut pilihan kata-kata dan susunan kalimatnya, kendati substansi dan sistematikanya tetap sama; sejumlah kata kerja (fi‘l), misalnya, diungkapkan kembali dalam bentuk kata benda (masdar); beberapa ungkapan kalimat yang dianggap panjang dan njelimet pun diganti dengan kalimat yang lebih pendek dan sederhana. Ini berarti al-Palimbani menghadirkan ulang teks aslinya dalam “bentuk yang baru”.

Sekedar contoh, dalam teks “versi A.H. Johns” misalnya tertulis “wa inna dhâlika al-wujûd laisa lahû shaklun wa lâ haddun wa lâ hasrun wa ma‘a hâdhâ zahara wa tajallâ bi al-shakli wa al-haddi wa lam yatagayyar ‘ammâ kâna min ‘adami al-shakli wa ‘adami al-haddi…”. Bagian ini ditulis kembali oleh al-Palimbani dengan: “…lâ shakla lahû wa lâ hadda wa lâ hasra wa lâ ‘adda ma‘a zuhûrihi wa tajallîhi bi al-shakli wa al-haddi wa ‘adami tagayyurihi ‘ammâ kâna…”, dengan menghilangkan kata “wa inna dhâlika al-wujûd” di bagian awal dan beberapa perubahan redaksi, kendati substansinya tetap sama. Selain itu, al-Palimbani juga menghilangkan paragraf pertama teks Arabnya yang merupakan mukaddimah dari al-Burhânpûrî, dan menggantinya dengan mukaddimah versi al-Palimbani sendiri.

Ada beberapa hipotesa yang bisa menjelaskan apa yang dilakukan oleh al-Palimbani tersebut. Salah satunya adalah terkait dengan teks Tuhfah al-Mursalah itu sendiri yang di Dunia Islam Melayu memang pernah menyebabkan situasi chaos akibat adanya salah faham oleh kalangan orang yang mubtadi atas kandungan isi kitab tersebut yang memang memuat ajaran-ajaran tasawuf tingkat tinggi (martabat tujuh) yang benar-benar bersifat filosofis (Azra 1994: 120).

Kondisi ini telah merangsang beberapa ulama lain untuk melakukan semacam “klarifikasi” atas teks Tuhfah al-Mursalah, seperti yang dilakukan oleh Ibrahîm al-Kûrânî yang menulis kitab Ithâf al-Zakî (lihat Fathurahman 2001). Nah, kiranya dalam konteks ini pula al-Palimbani melakukan semacam “modifikasi” atas teks Tuhfah al-Mursalah tersebut dan kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu, dengan tujuan agar lebih dapat dipahami oleh kalangan Muslim awam.

Hal lain yang menarik dikemukakan berkaitan dengan kitab-kitab terjemahan al-Palimbani adalah —berbeda dengan Kemas Fakhruddin, misalnya— hampir semua kitab-kitab tersebut ditulis di luar Palembang, dan bahkan di luar dunia Melayu-Indonesia, kendati penulisannya tentu saja ditujukan untuk masyarakat Melayu. Jika Hidâyat al-Sâlikîn ditulis di Makkah, maka Siar al-Sâlikîn ditulis di Tâ‘if dalam dua tahap: tahap pertama mulai ditulis pada 1193 H/1779 M, dan selesai pada 1195 H/1781 M; bagian pertama ini sempat disalin di Makkah pada 1197 H/1783 M. Sedangkan tahap kedua, yang juga berarti melengkapi keseluruhan teks, selesai ditulis di Tâ‘if pada 1203 H/1788 M.

Tradisi Penerjemahan Kitab di Palembang: Beberapa Catatan Akhir

Dari penjelasan di atas, dapat dipastikan bahwa para ulama Palembang memiliki peran yang sangat penting dalam membangun tradisi penerjemahan kitab-kitab keagamaan khususnya, dan tradisi keilmuan Islam pada umumnya, di wilayah selatan Sumatra ini. Lebih jauh, karya-karya terjemahan tersebut telah sangat membantu kalangan orang yang mubtadi untuk dapat memahami dan mengakses berbagai pengetahuan yang terdapat dalam sumber-sumber Arab.

Tanpa karya terjemahan, buah dari proses transmisi berbagai pengetahuan keislaman barangkali tidak akan menjadi seperti yang kita saksikan saat ini, di mana Islam tersebar di berbagai daerah dengan karakteristik dan nuansa lokalnya yang khas. Memang, karya-karya terjemahan para ulama Palembang —dan juga para ulama penerjemah Melayu pada umumnya— tersebut, dalam batas-batas tertentu tidak mencerminkan prinsip-prinsip alih bahasa yang ideal, mengingat bahasa sumber (baca: Arab) masih sering muncul secara mencolok dalam sebuah karya terjemahan, tetapi hal tersebut harus dipahami dalam konteksnya saat itu, di mana sejumlah ulama penerjemah tersebut tinggal dalam waktu yang relatif lama di Tanah Arab, sehingga keterampilan bahasa Melayu mereka pun menjadi tidak sempurna. Mereka bahkan mungkin tidak memiliki kemampuan untuk membedakan kata Arab mana yang sudah atau belum masuk ke dalam kosakata Melayu.

Lepas dari hal tersebut, dalam konteks Palembang, kitab-kitab terjemahan ini menegaskan bahwa corak keilmuan Islam yang berkembang di wilayah ini, di satu sisi melanjutkan kecenderungan yang pernah berkembang di Tanah Rencong, Aceh, yang sebelumnya juga pernah menjadi pusat peradaban Islam di wilayah Melayu-Indonesia. Tetapi, pada saat yang sama, para ulama Palembang —seperti terlihat dalam karya-karya terjemahannya— juga mengembangkan kecenderungan keilmuannya yang khas.

Dalam hal disiplin keilmuan misalnya, naskah-naskah terjemahan di Palembang —seperti halnya di Aceh— masih mencerminkan penekanannya pada bidang tasawuf. Hanya saja, berbeda dengan Aceh yang lebih mengembangkan jenis tasawuf filosofis dengan wahdatul wujud sebagai wacana pokoknya, maka Palembang lebih mengembangkan jenis tasawuf ortodoks, yang lebih menekankan perpaduan antara tasawuf (ilmu batin) dengan fikih (ilmu lahir). Tentu saja, jenis tasawuf —yang cenderung rekonsiliatif, dan belakangan dikenal sebagai aliran neo-sufisme— ini, pada dasarnya juga telah berkembang di Aceh, khususnya pada paruh kedua abad 17, dengan Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf al-Sinkili sebagai lokomotif utamanya. Hanya saja, dalam konteks Palembang, tampak bahwa ortodoksi tasawufnya jauh lebih menonjol dengan berkiblat pada pemikiran-pemikiran al-Junaid, al-Qushairi, dan al-Ghazali. Jika Abdurrauf al-Sinkili, misalnya, masih banyak menyandarkan pandangan-pandangannya pada pemikiran-pemikiran falsafi Ibnu Arabi atau al-Jili , di samping juga mengutip al-Junaid, al-Qushairi, dan al-Ghazali, maka para ulama Palembang cenderung mengesampingkan, atau bahkan menolak, pandangan-pandangan filosofis Ibnu Arabi dan al-Jili tersebut.

Dalam konteks Palembang pula, kecenderungan terhadap jenis tasawuf ortodoks ini tampaknya juga didukung oleh kondisi sosial politik kesultanan Palembang saat itu (abad 18 dan 19), di mana suasana politiknya tidak stabil, karena harus berhadapan dengan tekanan politik pemerintah kolonial. Hal ini pada gilirannya membuat para ulama Palembang —yang umumnya adalah ulama keraton— memilih untuk lebih mensosilisasikan ajaran-ajaran yang tidak kontroversial dan jauh dari perdebatan di dalam karangan dan terjemahannya.

Penting dikemukakan bahwa aliran tarekat yang lebih berkembang di Palembang juga berbeda dengan yang ada di Aceh. Jika di Aceh Nuruddin al-Raniri berafiliasi dengan tarekat Rifaiyyah, dan Abdurrauf al-Sinkili mengembangkan tarekat Shattariyyah, maka kecenderungan ulama Palembang tampaknya lebih pada tarekat Sammaniyah. Memang, sejauh ini, saya tidak mendapatkan data apapun tentang afiliasi tarekat dari Shaikh Shihabuddin dan Kemas Fakhruddin. Tetapi, sejak periode al-Palimbani, kecenderungan para ulama Palembang adalah mengembangkan tarekat Sammaniyah yang namanya dinisbatkan kepada pendiri tarekat tersebut, yakni guru utama al-Palimbani sendiri, Muhammad bin ‘Abd al-Karîm al-Sammânî.

Demikian halnya pada periode pasca al-Palimbani, bahkan hingga masa kontemporer, tarekat Sammaniyah merupakan jenis tarekat yang paling terkenal dan populer di kalangan masyarakat Palembang (lihat Zulkifli & Nasution 2001: 71). Oleh karenanya, patut diduga bahwa Shaikh Shihabuddin dan Kemas Fakhruddin, yang juga ulama sufi berpengaruh pun berafiliasi kepada tarekat Sammaniyah ini. Sebab, jika tidak, niscaya pada masa-masa sesudahnya, di Palembang berkembang jenis tarekat yang lain.

Yang agak mengherankan dalam tradisi penerjemahan kitab di Palembang ini adalah —paling tidak sejauh yang saya ketahui— tidak banyak dijumpainya karya-karya terjemahan kitab oleh para ulamanya dalam bahasa Jawa. Mengherankan karena hingga akhir abad 18, bahasa Jawa secara resmi masih digunakan di kalangan kesultanan Palembang, bahkan pengaruh bahasa Jawa di Palembang saat itu jauh lebih besar dibanding “tetangga dekatnya”, Jambi (lihat Andaya 1993: 16). Mungkin salah satu penyebabnya adalah karena mulai abad 14, bahasa yang digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) di Kepulauan Indonesia dan di Dunia Melayu pada umumnya adalah bahasa Melayu, sehingga bahasa Melayu menjadi media utama dakwah agama Islam.

Akhirnya, penting ditegaskan bahwa aktifitas penerjemahan kitab-kitab keagamaan yang dilakukan oleh para ulama Palembang ini telah memberikan kontribusi penting dalam membentuk tradisi intelektual Islam Melayu-Indonesia. Pilihan atas kitab-kitab yang diterjemahkan, dan interpretasi yang disampaikan oleh para penerjemah tersebut menunjukkan adanya kesinambungan dengan gagasan-gagasan para ulama sebelumnya, baik dengan sesama ulama Melayu-Indonesia, maupun dengan para ulama terkemuka di Timur Tengah. Dengan sendirinya, aktifitas penerjemahan tersebut juga menggambarkan pembentukan tradisi dan wacana intelektual sebagai sebuah proses transmisi yang dikembangkan serta dipelihara secara terus menerus. Proses transmisi ini bermula dari suatu wilayah yang disebut sebagai pusat Islam, yakni Dunia Islam di Timur Tengah, dan kemudian terhubung ke Dunia Islam Melayu-Indonesia sebagai wilayah yang mengadaptasi, meresepsi, merespon, merepresentasi dan memproduksi mozaik khas lokalnya, walllahu a‘lam bissawab.

Bibliografi

Abdullah, Hj. Wan Mohd. Shagir. 1990. Syeikh Daud bin Abdullah Al-Fathani: Ulama dan Pengarang Terulung Asia Tenggara. Kualalumpur: Hizbi.

--------------. 1996. Syeikh Abdus Shamad Palembang: Ulama Shufi dan Jihad Dunia Melayu. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah.

--------------. 1999. Penyebaran Islam dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu Jilid 5, Pengenalan Siri Ke-6. Kuala Lumpur: Persatuan Pengkajian Khazanah Klasik Nusantara & Khazanah Fathaniyah [seri ini telah terbit hingga nomor ke-11].

--------------. 2000. Penyebaran Islam dan Silsilah Ulama Sejagat Dunia Melayu Jilid 9. Pengenalan Siri Ke-10, Kuala Lumpur: Persatuan Pengkajian Khazanah Klasik Nusantara & Khazanah Fathaniyah.

Al-Attas, SMN. 1988. The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa‘id of al-Nasafi. Kuala Lumpur: University of Malaya.

Andaya, Barbara Watson. 1993. To Live as Brothers: Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawaii Press.

Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-17 dan XVIII, Bandung: Penerbit Mizan.

Behrend, T.E. (ed.). 1998. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & EFEO (Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, jld. 4).

Boland, B.J, dan J. Farjon. 1983. Islam in Indonesia: A Bibliographical Survery. Leiden: E.J. Brill.

Braginsky, Vladimir I. 1998. Yang Indah, Berfaedah, dan Kama: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.

--------------. "On the Copy of Hamzah Fansuri‘s Epitaph Published by C. Guillot and L. Kalus". Archipel 62, 2001: 21-33.

Chambert-Loir, Henri. 1985/86. “Abdussamad Al-Palimbani sebagai Ulama Jawi”, dalam Al-Palimbani, Sayr Al-Salikin, (jil. I), diromankan oleh A. Muin Umar, Banda Aceh: Museum Negeri Aceh.

Chambert-Loir, Henri & Oman Fathurahman. 1999. Khazanah Naskah; Panduan Koleksi Naskah Indonesia se-Dunia, Jakarta: Ecole française d‘Extrême-Orient dan Yayasan Obor Indonesia.

Drewes, GWJ. 1977. Directions for Travellers on the Mystic Path: Zakariyya‘ al-Ansari‘s Kitab Fath al-Rahman and Its Indonesian Adaptations. The Hague: Martinus Nijhoff.

Fathurahman, Oman. 1999. Tanbîh al-Mâsyî; Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Cetakan kedua, Bandung: Mizan.

--------------. 2000. “Abdurrauf Singkel: Ulama Santun dari Serambi Makkah” dalam Seribu Tahun Nusantara. Jakarta: Penerbit Kompas.

--------------. 2001. “Naskah dan Rekonstruksi Islam Lokal: Telaah Awal atas Kitab Ithâf al-Zakî karya Ibrâhîm al-Kûrânî”. Makalah disampaikan dalam Simposium MANASSA, 31 Juli 2001.

Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java, New York: The Free Press.
Guillot, Claude & Ludvik Kalus. 2000. "La stele funeraire de Hamzah Fansuri". Archipel 60, 2000: 3-24.

Hasjmi, A. 1983. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Jakarta: Beuna.
Hellwig, C.M.S & S.O. Robson (eds.). 1986. A Man of Indonesian Letters: Essays in Honour of Professor A. Teeuw. Dordrecht: Forsi Publication.

Hodgson, Marshal. 1974. The Venture of Islam, Chicago: The University of Chicago Press.

Iskandar, T. 1959. De Hikayat Atjeh, ‘s-Gravenhage: H.L. Smith.

--------------. 1995. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Brunei: Jabatan Kesusasteraan Melayu Universiti Brunei Darussalam.

Johns, A.H. 1965. The Gift Adressed to the Spirit of the Prophet. Canberra: The Australian National University.

--------------. 1976. “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”. Indonesia, 19.

Kratz, E. Ulrich. 1977. “Running a Lending Library in Palembang in 1886 A.D.” Indonesia Circle 14, h. 3-12.

Levtzion, N. (ed.). 1979. Conversion to Islam, New York: Holmes and Meyer.

Martin, Richard (ed.). 1982. Islam in Local Context, Leiden: E.J. Brill.

Matheson, Virginia & M.B. Hooker. 1988. “Jawi Literature in Patani: The Maintenance of an Islamic Tradition” dalam JMBRAS. vol. LXI. part. 1.

Quzwain, M. Chatib. 1984. Mengenal Allah: Studi mengenai Ajaran Tasawwuf Syaikh ‘Abdus Samad Al-Palimbani. Jakarta: Bulan Bintang.

Riddell, Peter. G. 2001. Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses, Honolulu: University of Hawaii Press.

--------------. 2002. “Literal Translation, Sacred Scripture, and Kitab Malay”, dalam Studia Islamika. Vol. 9. No. 1, h. 1-26.

Roff, William R. 1985. "Islam Obscured? Some Reflections on Studies on Islam and Societies in Southeast Asia", dalam Archipel, 29.

Schrike, B.J.O. 1955. Indonesian Sociological Studies, The Hague & Bandung: van Hoeve.

Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.

Syahid, Achmad. 2001. “Al-Madhâhib al-Sûfiyyah fî Fâlimbânj fî al-Qarnain al-Thâmin ‘Ashar wa al-Tâsi‘ ‘Ashar”, dalam Studia Islamika, vol. 8 no. 2.

Winstedt, Sir Richard. 1969. A History of Classical Malay Literature. Kualalumpur: Oxford University Press.

Woelders, M.O. 1975. Het Sultanaat Palembang, 1811-1825. ‘s Gravenhage: Nijhoff.

Zulkifli & Abdul Karim Nasution, Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan, Penerbit Universitas Sriwijaya, 2001.

_____________________

Paper presented at the international workshop on “History of Translation in Indonesia and Malaysia (Project of Association Archipel)”, Paris 1-5 April 2002, and is going to be published by EFEO Paris under two languages, English and Bahasa.

_________________
Oman Fathurahman, M.Hum., adalah peneliti naskah-naskah kuno, dan ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara, serta menjadi Research Fellow dari The Alexander von Humboldt-Stiftung Jerman di Universitat zu Kohln.
Kembali Ke Atas Go down
https://indofal.indonesianforum.net
 
Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang: Menghubungkan Dua Dunia
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» sastra menuju dunia maya
» PERADABAN DUNIA TANPA PETUNJUK ALLAH
» Indahnya malam pertama di dunia lain
» Riau dan Dunia Naskah Melayu Lama
» Karena Engkau Lebih Mahal Dari Dunia !!

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
subhannaallah wabihamdih :: berbagi :: forum kabar & info :: pengetahuan-
Navigasi: