Oleh Khaerudin
Apa kaitan bencana lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, dengan dongeng rakyat Timun Emas? Dalam dongeng tersebut ada kisah, ketika raksasa mengejar Timun Emas yang hendak dimakannya. Raksasa yang mengejar Timun Emas akhirnya tak berdaya setelah tenggelam dalam lautan lumpur.
Lumpur yang mematikan itu muncul setelah Timun Emas melemparkan terasi saat dikejar-kejar raksasa. Sebelumnya, Timun Emas melemparkan berbagai benda ajaib yang dibekali orangtuanya untuk menghindari kejaran raksasa. Timun Emas melemparkan jarum yang berubah menjadi sekumpulan pohon bambu yang merusak kaki raksasa. Namun, raksasa tetap bisa mengejar sehingga Timun Emas kemudian melemparkan garam yang berubah menjadi lautan. Seperti rerimbunan bambu yang tajam dan melukai raksasa, lautan juga tak menenggelamkan raksasa. Baru setelah Timun Emas melempar terasi yang berubah menjadi lautan lumpur, raksasa kemudian tenggelam dan mati.
Apabila penciptaan cerita rakyat atau folklor terjadi setelah muncul fakta ataupun fenomena alam, kemungkinan luapan lumpur lapindo pernah terjadi sebelumnya di Jawa Timur. Aktivis Asosiasi Tradisi Lisan Jawa Timur Henry Nurcahyo menuturkan, cerita Timun Emas adalah varian cerita Panji yang populer pada masa Majapahit. Varian lain dari cerita Panji yang berkembang menjadi dongeng, seperti Keong Mas hingga Ande-ande Lumut. Cerita Panji sendiri bertutur dengan kisah cinta antara Raden Panji Asmarabangun dari Jenggala dan Dewi Sekar Taji dari Kediri.
Satu kesatuan
Jenggala dan Kediri merupakan wilayah yang semasa Airlangga merupakan satu kesatuan kerajaan. Wilayah Jenggala saat ini antara lain adalah Kabupaten Sidoarjo. ”Kalau melihat bahwa dongeng itu diciptakan setelah ada faktanya lebih dulu seperti cerita Sangkuring muncul setelah Gunung Tangkuban Perahu ada, ada kemungkinan dongeng Timun Emas muncul setelah sebelumnya ada bencana lumpur di wilayah Jenggala atau Kediri,” kata Henry.
Namun, Henry mengingatkan, folklor tidak bisa menjadi pembenar bahwa luapan lumpur seperti yang terjadi di konsesi milik PT Lapindo Brantas sudah pernah ada sebelumnya. Dia hanya mengingatkan, folklor selalu berarti kebijaksanaan lokal yang dituturkan dari masa ke masa oleh rakyat. ”Sekarang pertanyaannya, di lumpur lapindo tersebut siapa yang menjadi raksasanya,” kata Henry.
Henry kemudian mengungkapkan, apa yang dilakukan pemilik PT Lapindo Brantas mirip kelakuan raksasa yang mengejar Timun Emas, menguasai segalanya dengan modal besar yang mereka miliki. ”Mereka bisa membeli media, dari televisi sampai koran. Mereka pun bisa membeli budayawan. Sehingga saya pun takut, materi folklor Timun Emas yang saya bawakan di seminar tradisi lisan ini bisa-bisa dianggap menjadi pembenar bahwa lumpur lapindo itu merupakan bencana alam, bukan terjadi karena kelalaian manusia,” kata Henry.
Hanya saja, sang raksasa di Sidoarjo masih belum tenggelam meskipun lumpurnya telah membuat penduduk 16 desa di tiga kecamatan harus terusir secara paksa.
Bahkan, yang terjadi sekarang adalah malah perdebatan tak kunjung usai, soal penyebab lumpur lapindo, apakah bencana alam karena dua hari sebelum semburan lumpur muncul di Desa Reno Kenongo terjadi gempa bumi di Yogyakarta, ataukah karena kelalaian manusia. Timun Emas menyisakan cerita, lumpurlah yang akhirnya menenggelamkan sang raksasa.